Pages

Jumat, 29 November 2013

Temui Aku dalam Mimpi



Temui Aku dalam Mimpi
Indahnya sang fajar berhasil menggugah kalbuku. Suara ayam yang terdengar di hamparan bumi pertiwi saling bersahutan. Kupandangi paras cantikku di cermin, terlihat kebahagiaan yang menjelma di balik bening bola mata ini. Gaun berwarna merah muda membangkitkan hatiku untuk menjalani hari dengan semangat yang tangguh. Kulangkahkan kedua kaki dengan perlahan laksana permaisuri yang berjalan anggun. Senyuman ceria terpancar cerah menyapa dunia. 
“Regitaaaaa sini..” sahut seorang teman karibku yang bernama Yudi. 
“Eh Yudi, akhirnya kamu datang juga. Aku sudah lama menunggumu,” jawabku.
“Iya Reg maaf ya, ayo cepat naik.”
Aku menaiki sebuah mobil berwarna hitam milik temanku, Arini. Kududuki kursi mobil yang empuk dan hangat itu. Ternyata tak hanya aku yang dijemput oleh mereka. Akmal, Alifa, dan Sifa juga sama denganku, dijemput oleh Arini dan Yudi. Kita telah berkumpul dan menduduki kursi mobil sesuai posisi masing-masing. Aku, begitupun teman-temanku yang berada di dalam mobil berteriak kencang hingga terdengar ke penjuru dunia hanya karena merasakan kebahagiaan yang begitu mendalam.
“Aaaaaaaaaaa... teman-teman, sungguh aku tidak percaya bahwa kita bisa berkumpul bersama di sebuah mobil ini untuk berangkat menuju audisi Indonesian Idol,” sahut Akmal dengan ketidakpercayaan dan rasa bahagia yang menjelma di dadanya.
“Aku juga sangat tidak percaya Mal, rasanya terharu sekali,” jawab Sifa.
Perbincangan kita di dalam mobil terus berlanjut.
Dari awal, kita memang sudah bertujuan untuk mengikuti audisi Indonesian Idol di sebuah gedung yang bernama Sasana Budaya Ganesha, biasanya orang-orang menyebutnya Gedung Sabuga. Gedung tersebut tepatnya berada di kota Bandung. Selain itu, kita juga bertujuan untuk menghirup udara segar di sekitar kota Bandung nan indah dan permai itu.
Di dalam mobil, tak ada satu pun orang yang diam. Aku dan teman-temanku berlatih bernyanyi untuk audisi hari ini. Suhu udara di dalam mobil seakan naik karena suara lantang kita yang sedang mengalunkan sebuah kidung enggan menyelimuti suasana. Selama di perjalanan, aku menyanyikan salah satu lagu kesukaanku, yaitu lagu yang berjudul ‘Pelangi di Matamu’. Lagu tersebut biasanya dilantunkan oleh sebuah band papan atas di Indonesia, Jamrud. Selagi bernyanyi, ada orang yang memberhentikan lantunan suara kita. Yudi memberhentikan kita bernyanyi.
Stop! Teman-teman, seandainya nanti aku lolos audisi, kalian yang mengantarku, ya. Seandainya kalian juga lolos, aku ikut senang sekali. Tetapi jika di antara kita tidak ada satu pun yang lolos audisi, kita jangan merasa kecewa. Yang terpenting, usaha dan semangat juang kita telah bangkit.”
“Iya Kak, aku tidak akan merasa kecewa kok, toh Mbak Regina saja yang menjadi juara Indonesian Idol tahun lalu sudah 6 kali tidak lolos audisi, lalu audisi yang ke-7 kalinya baru lolos. Jadi, intinya kita tidak boleh mengeluh, karena semuanya perlu tahapan dan proses yang matang, baru kita bisa sukses. Setuju kan teman-teman?” jelas Alifa dengan pertanyaannya.
“Setujuuuuuuuu!” jawab kita serempak.
Detik demi detik seakan berlari mengejar waktu. Tak terasa kita telah sampai di kota Bandung, tepatnya di area Gedung Sabuga. Kulihat ilalang sedang berbaris rapi menyemangati diri ini. Jantungku berdegup kencang bak ombak menerjang karang, karena rasa gugup untuk melakukan audisi telah melanda dan hinggap di dadaku. Di sekeliling area Gedung Sabuga, banyak pedagang map yang berkeliaran dan menawarkan sebuah map dengan harga yang terbilang mahal. Tanpa berpikir panjang, aku pun membelinya, karena mungkin map tersebut sangat dibutuhkan oleh para peserta audisi. Antrian panjang di bawah terik baskara membentang hebat. Aku bangga bisa menjadi salah seorang peserta di antara ribuan peserta yang menunggu dalam antrian panjang bak aliran air di samudera itu.
Hiruk pikuk serta keramaian menyelimuti suasana hati ini. Banyak orang yang sedang berlatih bernyanyi pada saat mengantri di area Gedung Sabuga.
“Aku yang dulu bukanlah yang sekarang, ha! Dulu ditendang, sekarang aku disayang, ye!” suara seorang pemuda dengan nada melayunya sambil memainkan ukulele itu menaungi kedua telingaku.
Di tengah keramaian dalam antrian panjang dan terik mentari yang membumbui suasana saat ini, semua peserta diperkenankan untuk mengangkat kedua tangan sambil menyanyikan yel-yel dan berteriak, “Bandung, Indonesian Idol!
Aku pun menuruti perintah para crew audisi Indonesian Idol, karena hal tersebut merupakan kesan pertama yang akan aku kenang nantinya.
Dengan rasa lelah karena terlalu lama menunggu di dalam antrian panjang, kita tetap semangat untuk berdiri tegak dan meramaikan suasana.
“Itulah hebatnya para peserta audisi di kota Bandung, kalian selalu semangat meskipun keringat melanda wajah manis kalian,” ujar salah seorang MC yang berada di panggung sambil menyemangati para peserta audisi.
Ribuan kiasan di langit bercengkrama menanti senja, rasanya waktu sangatlah mengerjarku. Antrian panjang di area Gedung Sabuga telah usai. Kini aku berada tepat di dalam Gedung Sasana Budaya Ganesha. Para peserta diperkenankan untuk masuk ke dalam gedung dan diberi cap yang bertuliskan ‘Indonesian Idol 2014’ di tangan kanan para peserta. Setelah itu, kita diberi tempat duduk untuk menonton dan melihat penampilan sang juara Indonesian Idol sebelumnya, yaitu penampilan Citra Scholastika. Selain itu, para peserta juga diperkenankan untuk menampilkan bakat-bakat terpendam lainnya, seperti dance, bermain alat musik, dan lain-lain. Dan juga diadakan perlombaan yang sangat unik.
VJ Daniel Mananta, salah satu MC dalam audisi Indonesian Idol berkata kepada para peserta, “hallo peserta Bandung, calon idola Indonesia!”
“Hai Daniel..”
“Kali ini saya ingin bertanya pada kalian, di antara kalian semua, kira-kira siapa yang pantas menjadi sang juara Indonesian Idol selanjutnya?”
“Sayaaaa!”
Semua peserta audisi mengacungkan tangannya dan berteriak bahwa kita semua merupakan sang juara Indonesian Idol tahun ini. Karena begitu keadaannya, Daniel menunjuk salah satu peserta yang sangat percaya diri bahwa dirinya adalah sang juara Indonesian Idol selanjutnya. Peserta pertama yang ditunjuk oleh Daniel adalah seorang pemuda yang agak kumal dan ngerock. Saking ngerocknya, suara sang pemuda tersebut kurang enak didengar. Semua peserta tertawa terhadap tingkah laku pemuda tersebut ketika di depan panggung. Daniel menolaknya, dan ia mencari lagi seseorang yang pantas untuk dijadikan sang juara Indonesian Idol selanjutnya. Daniel menunjuk seorang pemuda lagi, peserta kedua yang telah ditunjuk oleh Daniel ini sangatlah percaya diri. Wajahnya sangat rupawan, bermata sipit, menawan dan tinggi. Seandainya aku berada di posisi Daniel, mungkin pemuda tersebut telah aku jadikan selebriti dadakan, karena wajahnya sangat mempesona.
“Hai, nama saya Kevin Putra, saya akan menyanyikan lagu yang berjudul ‘Kereta Malam’. Hehehe.. saya akan menyanyikan lagu ini dengan versi saya sendiri,” kata Kevin dengan senyum manis yang terpancar di bibirnya.
“Pernah sekali aku pergi, dari Jakarta ke Surabaya. Untuk menengok nenek di sana, mengendarai kereta malam. Jug gejag gijug gejag gijug.. kereta berangkat. Jug gejag gijug gejag gijug.. hatiku gembira.”
Semua orang bertepuk tangan mendengar suara Kevin yang halus itu. Aku kira, Kevin akan dipilih oleh Daniel, tetapi mungkin karena Daniel belum puas mencari calon juara Indonesian Idol, Daniel menunjuk satu peserta lagi. Kali ini, peserta yang ditunjuk oleh Daniel adalah seorang perempuan. Suaranya sangatlah merdu dan unik, semua orang speechless mendengar suara perempuan tersebut.
“Wah, hebat sekali suaramu! Kereeeeen! Selamat Mbak, kamu lolos audisi Indonesian Idol di tahap pertama, semoga Mbak memang sang juara Indonesian Idol selanjutnya. Mari ikut saya.”
Semua orang terkesima dan memberikan standing applause untuk perempuan tersebut.
“Ayo, cepat lari..” sahut salah seorang crew Indonesian Idol yang menyuruh kita bersiap-siap untuk melakukan audisi di lantai atas Gedung Sabuga.
Seorang crew membagi kelompok audisi, kelompok tersebut masing-masing harus terdiri dari 10 orang. Kebetulan, aku sekelompok dengan pemuda yang sangat percaya diri itu, Kevin. Aku sangat tak percaya. Sebelum memasuki ruang audisi, kita berbincang-bincang terlebih dahulu. Ia sangat akrab denganku, seolah-olah ia telah mengenalku sebelumnya. Padahal aku baru pertama kali melihat pemuda bermata sipit itu. Para peserta yang telah melakukan audisi banyak yang mendapatkan kartu kuning, artinya mereka tidak lolos audisi. Bahkan sejauh mata memandang, aku tidak melihat peserta yang mendapatkan kartu merah. Kali ini giliranku untuk melakukan audisi.
“Doakan aku ya, Vin,” kataku dengan secarik senyum di bibirku.
“Iya Reg, saling mendoakan saja ya. Semangat Regita, kamu pasti berhasil!” Jawabnya.
Perkataan tersebut seakan membangunkan relung hatiku. Jantungku terasa berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Aku memasuki ruangan kecil, tak terdengar gema sedikitpun di sana. Hanya ada dua orang juri yang tak pernah kulihat wajahnya. Aku bernyanyi tanpa beban, lagu yang aku nyanyikan seolah-olah sangat bagus. Tetapi mungkin lain dengan apa yang para juri dengar. Aku sudah menunggu juri memberikan sebuah kartu, hatiku berharap lebih, “semoga saja aku mendapatkan kartu merah.” Tetapi lain dengan kenyataannya, aku mendapatkan kartu kuning. Sebenarnya aku agak kecewa dengan keadaan ini, namun mungkin ini memang jalan takdirku. Setelah aku melakukan audisi, kali ini Kevin memasuki ruangan kecil itu. Aku mendoakannya, semoga ia mendapatkan kartu merah. Namun. ia keluar dengan rasa kecewa.
“Ah, kartu kuning lagi, oke. Harus bagaimana lagi, Reg?” Kata Kevin dengan rasa kecewa di hatinya.
“Memangnya, sudah berapa kali kamu ikut audisi Indonesian Idol, Vin?”
“Kali  ini sudah yang ketiga kalinya. Ah, mungkin memang jalannya sudah begini, Reg.” Kata Kevin dengan wajah murungnya.
Aku tersenyum dan berkata, “Kevin, aku akui suaramu sangatlah bagus. Sabar ya, tak hanya kamu yang merasakan hal seperti ini. Masih banyak orang di luar sana yang merasakan hal yang lebih dari ini. Kamu semangat ya kawan, keberhasilan akan datang jika kamu tetap berusaha lebih giat lagi.”
“Iya Reg, terima kasih banyak. Kamu memang orang yang paling mengertikan aku. Walaupun kita baru pertama kali bertemu, tapi kamu beda dengan yang lain, kamu seperti sahabat yang aku kenal dari dulu. Kamu juga semangat ya, Regita. Tunggu keberhasilanmu!”
Aku sangat terharu mendengar perkataan seseorang yang baru saja aku kenal tetapi sudah seperti sahabat karibku. Rasa kecewa itu telah pudar, kebahagiaan telah bersemi seakan bintang membawaku ke langit ketujuh. Aku berfoto-foto dengan Kevin sebelum diadakan pengumuman tentang lolos atau tidaknya audisi, walaupun aku sudah tahu bahwa yang mendapatkan kartu kuning merupakan peserta yang tidak lolos audisi.
Audisi pun telah selesai. Kita dikumpulkan kembali di dalam suatu ruangan kecil untuk mengetahui pengumuman tentang siapa saja yang lolos audisi. Ternyata, dari 40 orang atau 4 kelompok audisi, hanya satu orang yang lolos. Memang, susah sekali untuk mendapatkan kartu merah itu.
Senja melambaikan tangan, sang surya kembali hingga tertutupi awan kelam. Aku pulang tanpa pamit kepada teman-teman baruku, termasuk Kevin yang telah akrab denganku. Aku sudah berjalan terlalu jauh. Kulihat Kevin di sebrang sana seperti sedang mencari orang.
Hatiku bergumam, “apakah Kevin sedang mencariku? Ah, entahlah.”
Sebenarnya hal ini bukan hal yang disengaja, tetapi karena aku diperintah untuk cepat memasuki mobil sebelum pukul 18:30, karena teman-temanku tidak mau pulang terlalu malam.
Kita telah berkumpul di dalam mobil. Sebelum pulang, Yudi mengecek siapa saja yang telah masuk ke dalam mobil.
“Akmal?”
“Ada!”
“Alifa?”
“Yap!”
“Arini?”
“Hadir, Kak.”
“Sifa?”
“Siap!”
“Regita?”
Aku tak menjawab apa-apa. Pandangan mata ini sudah tak teratur.
“Regita?”
“I..i..iya apa Kev? Eh, maksudku, apa Yud?” jawabku terbata-bata.
                “Kamu kenapa, Regi? Apakah ada barang yang tertinggal di tempat audisi?” tanya Yudi.
“Iya, ada,” jawabku singkat
“Kenapa kamu tidak bilang dari tadi? Memangnya benda apa yang tertinggal di sana?”
                “Kev... Kev... kepang, iya, kepang. Maksudku, ikat rambut untuk mengepang rambutku tertinggal di sana,” jawabku melantur.
“Hih! Lalu bagaimana? Kamu mau kembali ke gedung hanya untuk mengambil ikat rambutmu di sana? Begitu maksudmu?” tanya Yudi dengan wajahnya yang agak sinis.
Aku terdiam dan tak menjawab perkataan Yudi. Aku merasa kecewa dan sangat benci dengan diriku sendiri, aku bertanya kepada hatiku tentang mengapa aku tidak pamit dahulu kepada Kevin. Aku tidak tahu ia tinggal di mana, username twitternya apa, dan nama akun facebooknya apa. Aku tak sempat menanyakan hal-hal seperti itu.
Di sepanjang perjalanan, pikiranku terngiang oleh seorang pemuda yang telah aku anggap sebagai sahabat karibku itu, walaupun kita baru saja berkenalan. Sesampai di rumah, aku tidak berkata apapun, yang aku pikirkan hanyalah aku telah kehilangan sahabatku.
***
“Regita, bangun Regi. Ayo shalat subuh, Nak,” kata mama sambil menggoyahkan badanku yang sedang terbaring di atas kasur berwarna merah muda.
“Ya ampun Regita, badan kamu panas sekali. Kamu demam, Nak,” lanjut mama.
“Mamaaaa..” aku menangis.
“Kamu kenapa sayang? Waktu malam setelah kamu pulang dari Bandung, kamu pingsan. Yudi dan Arini mengantarkan kamu ke sini.”
“Hah? Benarkah begitu, Ma?” aku terkejut, aku kira aku tidur seperti biasanya.
“Mungkin kamu kecapekan ya, Nak. Ayo sekarang kamu shalat dulu, lalu istirahat. Nanti mama panggilkan dokter ke sini.”
Mama sangat baik sekali, beliau memang seorang bidadari bagiku. Beliau telah memanggilkan dokter untukku, dokter berkata bahwa aku sakit demam parah dan maag kronis.
***
Selama satu minggu berturut-turut, aku tidak sekolah. Baru kali ini aku tidak sekolah sampai segitu lamanya. Padahal, mama selalu bilang padaku, kalau aku adalah anak mama yang jarang sekali sakit. Aku hanya bisa terbaring di tempat tidur sambil mengucurkan air mata yang begitu derasnya. Aku merenung, aku ingat pada Kevin, aku ingat pada sahabatku yang mungkin hanya bisa bertemu satu kali seumur hidupku. Aku rasa, nestapa ini mulai menghalangiku, menerjangku dalam sendu. Aku mencari nama Kevin Putra di jejaring sosial, namun yang aku temukan bukanlah Kevin Putra yang aku maksud, melainkan orang lain.
“Regita, sebenarnya kamu kenapa, Nak? Mama heran, kamu bisa merasakan sakit selama satu minggu begini. Biasanya kan kamu sakit hanya satu atau dua hari saja,” tanya mama dengan rasa herannya.
“Ma, kalau boleh jujur, Regita sakit karena banyak pikiran. Mungkin menurut Mama, hal ini sangatlah tidak penting. Tapi lain di hati Regi, Regi merasa kehilangan sahabat Regi, Ma. Saat di Bandung, Regi berkenalan dengan seseorang, ia sangat baik sekali. Ia selalu menyemangati Regi saat Regi audisi. Intinya, ia sudah Regi anggap sebagai sahabat karib Regi, walaupun Regi baru sekali bertemu dengannya.”
“Kamu jangan berpikiran aneh sampai sakit seperti ini. Memangnya siapa namanya, Nak?”
“Iya Ma, namanya Kevin Putra, ia bermata sipit seperti Regi. Tapi Regi tak sempat menanyakan tempat tinggalnya.”
“Uhuk.. hah? Kevin Putra?”
Mama batuk tak tertahankan, beliau merasa terkejut dan berwajah murung, seperti ada hal yang disembunyikan di dalam hatinya.
                “Kenapa kaget, Ma? Memangnya Mama mengenal Kevin Putra? Nama Kevin Putra kan banyak, tak hanya satu.”
“Coba mama lihat foto Kevin, Nak.”
Aku memperlihatkan foto Kevin yang ada di dalam galeri handphoneku. Kulihat raut wajah Mama terkejut aneh, sangat aneh. Aku penasaran dengan perasaan ibuku sekarang. Rasanya, ingin kubuka otak Mama dan kulihat Mama sedang memikirkan apa saat ini.
“Mama sangat kenal dengan orang itu, Nak.”
“Hah? Mama mengenalnya? Serius, Ma?” rasa penasaranku meningkat.
“Hmm..”
                Mama tak menjawab apa-apa, beliau malah menangis, air mata mengalir di pipinya yang cantik. Mungkin beliau sangat bingung untuk memberitahu tentang apa yang ada di benaknya. Selama beberapa menit, dunia pun sunyi tanpa suara, tak ada sepatah kata pun yang terucap dari mulut Mama.
                “Dia.. di.. dia.. dia saudara kembarmu, Nak,” jawab Mama dengan terbata-bata.
                “Apa? Dia saudara kembarku? Bukannya mama pernah bilang bahwa saudara kembarku bernama Gavin Putu, bukanlah Kevin Putra yang aku bahas sekarang. Dan dulu Mama selalu bilang bahwa saudara kembarku telah meninggal sejak umur 1 tahun. Begitu, kan?”
Aku sangat terkejut mendengar hal ini. Mataku layu, air mata mengalir deras.
“Nak, maaf kalau Mama selama ini tidak bisa jujur padamu. Mama tahu bahwa Mama salah, Mama tidak mengatakan apa yang seharusnya Mama katakan. Kevin Putra memang saudara kembarmu, dulu sewaktu Kevin berumur 1 tahun, ia dipinta oleh tantemu, Tante Dita. Tante Dita memaksa Mama untuk memberikan Kevin padanya, jangan sampai ada orang yang memberitahumu tentang hal ini, tapi sekarang Mama memberitahumu karena Mama tidak tega melihat kamu seperti ini, karena sepertinya kamu sangat ingin bertemu dengan Kevin.”
Aku tetap berada dalam dunia kesedihan, aku tak dapat berkata apa-apa.
                “Sebulan sekali, Mama selalu berkunjung ke rumah Tante Dita di Bandung, Mama selalu menemui Kevin dan memberi uang saku padanya. Sampai sekarang, Kevin masih tidak mengetahui bahwa dirinya memiliki saudara kembar yang bernama Regita Putri.”
                “Mengapa Mama tidak memberitahu aku dari dulu?” tanyaku kepada Mama.
“Aku ingin bertemu Kak Kevin, Ma. Aku rindu Kak Kevin, aku khawatir dengan dia. Pokoknya aku ingin ke rumah Kak Kevin sekarang juga,” lanjutku.
Aku menangis sambil memeluk erat Mama, Mama mengelus kepalaku dengan kasih sayang dan rasa terharu yang sangat berlebihan. Mama tidak tega melihatku menangis.
“Mama tidak memberitahu kamu akan hal ini karena ada hal lain yang tidak boleh Mama katakan padamu. Ini rahasia besar, Mama tak ingin membongkarnya. Maafkan Mama ya, Nak. Mama akan menelepon Kak Kevin sekarang, Mama akan mengajak Kak Kevin ke sini agar dia bisa menemuimu.”
  Perbincangan Mama denganku sangatlah panjang. Mama telah mencoba beberapa kali untuk menelepon saudara kembarku itu, tetapi nomor handphonenya tidak aktif. Mama mencoba menelepon Tante Dita tentang mengapa nomor handphone Kak Kevin tidak aktif.
“Hallo, Dita?”
“Iya, ini siapa?”
“Ini Mbak Salma. Kevin ada, kan? Mengapa nomornya tidak aktif?”
“Mbak, maafkan saya. Saya tahu bahwa saya salah besar. Saya tidak bisa menjaga Kevin seperti Mbak menjaga Regita. Saya tidak bisa melindungi Kevin seperti Mbak melindungi Regita. Saya tidak sanggup mengatakan hal ini. Mbak, Kevin telah tiada. Kevin tertabrak mobil seminggu yang lalu. Kata teman-temannya, saat ia pulang audisi, ia mencari seseorang yang baru saja ia kenal. Karena ia melamun, ia tertabrak mobil dan mengakibatkan kepalanya bocor, sangat parah. Sekali lagi maafkan saya, Mbak,” jelas Tante Dita.
Mama menangis dan menjatuhkan handphonenya ke lantai, aku sangat penasaran mengapa Mama bisa menangis sambil berteriak begitu kencangnya. Aku mendekati Mama. Kulihat Mama mengambil kembali handphone yang ada di lantai.
Innalillahi wa innailahi raji’un.. Dita, mengapa kamu tidak memberitahuku dari awal? Mengapa kamu baru memberitahu tentang hal ini sekarang? Lalu sekarang Kevin dimakamkan di mana? Regita menangis, ia merindukan saudara kembarnya,” tanya Mama dengan tangis yang menerpa beliau.
“Maaf Mbak, kontak di handphone saya hilang semua, saya sudah memberitahu Mbak lewat surat, tetapi mungkin suratnya tidak sampai ke sana.”
Perbincangan Mama dengan Tante Dita terus berlanjut, aku mendengarkan perbincangan itu. Sungguh, aku sangat tidak percaya bahwa Kak Kevin, saudara kembarku atau sahabat karibku yang baru aku kenal itu telah meninggal dunia. Lara hati ini menangis dan menjerit hebat. Rasanya, ingin aku teriakkan kepada dunia bahwa aku sedih, aku pilu, hatiku perih, dan aku terhantam nestapa yang teramat dalam, agar dunia tahu bahwa aku sangat kehilangan sosok saudara kandungku yang sangat aku cintai dan aku rindukan itu. Tangisanku menusuk kalbu, air mata itu mengalir begitu derasnya. Mungkin ini memang jalan takdirku bahwasannya aku mengalami pertemuan singkat dengan Kak Kevin. Aku ingin bertemu dengannya, walau hanya dalam mimpi, walau hanya sebatas angan.
***
Aku berangkat menuju rumah Tante Dita di Bandung, sesampai di sana, Tante Dita memeluk erat tubuhku dan merasa bersalah karena tidak pernah mempertemukan aku dengan Kak Kevin. Tante Dita menangis sambil mengelus kepalaku dan berkata, “kamu yang tabah ya sayang, maafkan Tante. Kak Kevin sudah bahagia di Surga, di pelukan Sang Pencipta.”
Aku hanya menangis tersedu, kubawakan seuntai bunga dan sebuah surat kecil yang bertuliskan, “Temui aku dalam mimpi. Aku sangat merindukanmu, Kak Kevin.” Aku menaruh seuntai bunga dan surat kecil tersebut di atas makam Kak Kevin, di dekat batu nisan. Aku selalu mendoakan Kak Kevin agar ia selalu berada dalam lindungan Tuhan. Semoga Kak Kevin bisa tersenyum bahagia bersama para malaikat di Surga.

-THE END-



(Karya: Erni Nuraeni)